Sabtu, 11 Februari 2012
“Subhanallah, dia
benar-benar mirip denganmu ya!”
Suamiku menjawab:
“Bukankah sesuai
keinginanmu? Kau yang bilang kalau anak lelaki ingin seperti aku.”
Aku mengangguk.
Suamiku kembali bekerja seperti biasa. Ketika bayi kecilku berulang tahun
pertama, aku mengusulkan perayaannya dengan mengkhatamkan Al Quran di rumah
Lalu kubilang pada suamiku:
“Supaya ia menjadi
penghafal Kitabullah ya,Yah.”
Suamiku menatap padaku
seraya pelan berkata:
“Oh ya. Ide bagus itu.”
Bayi kami itu, kami
beri nama Ahmad, mengikuti panggilan Rasulnya. Tidak berapa lama, ia sudah
pandai memanggil-manggil kami berdua: Ammaa. Apppaa. Lalu ia menunjuk pada
dirinya seraya berkata: Ammat! Maksudnya ia Ahmad. Kami berdua sangat bahagia dengan
kehadirannya. Ahmad tumbuh jadi anak cerdas, persis seperti papanya. Pelajaran
matematika sederhana sangat mudah dikuasainya. Ah, papanya memang jago
matematika. Ia kebanggaan keluarganya. Sekarang pun sedang S3 di bidang
Matematika.
Ketika Ahmad ulang
tahun kelima, kami mengundang keluarga. Berdandan rapi kami semua. Tibalah saat
Ahmad menjadi bosan dan agak mengesalkan. Tiba-tiba ia minta naik ke punggung
papanya. Entah apa yang menyebabkan papanya begitu berang, mungkin menganggap
Ahmad sudah sekolah, sudah terlalu besar untuk main kuda-kudaan, atau lantaran
banyak tamu dan ia kelelahan. Badan Ahmad terhempas ditolak papanya, wajahnya merah,
tangisnya pecah, Muhammad terluka hatinya di hari ulang tahunnya kelima.
Sejak hari itu, Ahamad
jadi pendiam. Murung ke sekolah, menyendiri di rumah. Ia tak lagi suka
bertanya, dan ia menjadi amat mudah marah. Aku coba mendekati suamiku, dan menyampaikan
alasanku. Ia sedang menyelesaikan papernya dan tak mau diganggu oleh urusan
seremeh itu, katanya.
Tahun demi tahun
berlalu. Tak terasa Ahmad telah selesai S1. Pemuda gagah, pandai dan pendiam
telah membawakan aku seorang mantu dan seorang cucu. Ketika lahir, cucuku itu,
istrinya berseru sambil tertawa-tawa lucu:
“Subhanallah! Kulitnya
gelap, Mas, persis seperti kulitmu!”
Ahmad menoleh dengan
kaku, tampak ia tersinggung dan merasa malu.
“Salahmu. Kamu yang
ingin sendiri, kan. Kalau lelaki ingin seperti aku!”
Di tanganku, terajut
ruang dan waktu. Terasa ada yang pedih di hatiku. Ada yang mencemaskan aku. Cucuku
pulang ke rumah, bulan berlalu. Kami, nenek dan kakeknya, datang bertamu.
Ahmad kecil sedang
digendong ayahnya. Menangis ia. Tiba-tiba Ahmad anakku menyergah sambil
berteriak menghentak,
“Ah, gimana sih, kok
nggak dikasih pampers anak ini!”
Dengan kasar
disorongkannya bayi mungil itu. Suamiku membaca korannya, tak tergerak oleh
suasana. Ahmad, papa bayi ini, segera membersihkan dirinya di kamar mandi. Aku,
wanita tua, ruang dan waktu kurajut dalam pedih duka seorang istri dan seorang
ibu. Aku tak sanggup lagi menahan gelora di dada ini. Pecahlah tangisku serasa
sudah berabad aku menyimpannya. Aku rebut koran di tangan suamiku dan kukatakan
padanya:
“Dulu kau hempaskan
Ahmad di lantai itu! Ulang tahun ke lima, kau ingat? Kau tolak ia merangkak di
punggungmu! Dan ketika aku minta kau perbaiki, kau bilang kau sibuk sekali. Kau
dengar? Kau dengar anakmu tadi? Dia tidak suka dipipisi. Dia asing dengan anaknya
sendiri!” Allahumma Shali ala Muhammad. Allahumma Shalli alaihi wassalaam.
Aku ingin anakku menirumu, wahai Nabi. Engkau membopong cucu-cucumu di
punggungmu, engkau bermain berkejaran dengan mereka Engkau bahkan menengok
seorang anak yang burung peliharaannya mati. Dan engkau pula yang berkata
ketika seorang ibu merenggut bayinya dari gendonganmu,
“Bekas najis ini bisa
kuseka, tetapi apakah kau bisa menggantikan saraf halus yang
putus di kepalanya?”
Aku memandang suamiku
yang terpaku. Aku memandang anakku yang tegak diam bagai karang tajam. Kupandangi
keduanya, berlinangan air mata. Aku tak boleh berputus asa dari Rahmat-Mu, ya
Allah, bukankah begitu?
Lalu kuambil tangan
suamiku, meski kaku, kubimbing ia mendekat kepada Ahmad. Kubawa tangannya
menyisir kepala anaknya, yang berpuluh tahun tak merasakan sentuhan tangan
seorang ayah yang
didamba. Dada Ahmad berguncang menerima belaian. Kukatakan di hadapan mereka
berdua,
“Lakukanlah ini,
permintaan seorang yang akan dijemput ajal yang tak mampu mewariskan apa-apa:
kecuali Cinta. Lakukanlah, demi setiap anak lelaki yang akan lahir dan
menurunkan keturunan demi keturunan. Lakukanlah, untuk sebuah perubahan besar
di rumah tangga kita! Juga di permukaan dunia. Tak akan pernah ada perdamaian
selama anak laki-laki tak diajarkan rasa kasih dan sayang, ucapan kemesraan,
sentuhan dan belaian, bukan hanya pelajaran untuk menjadi jantan seperti yang
kalian pahami. Kegagahan tanpa perasaan. Dua laki-laki dewasa mengambang air di
mata mereka. Dua laki-laki dewasa dan seorang wanita tua terpaku di tempatnya. Memang
tak mudah untuk berubah. Tapi harus dimulai. Aku serahkan bayi Ahmad ke pelukan
suamiku. Aku bilang:
“Tak ada kata terlambat
untuk mulai, Sayang.”
Dua laki-laki dewasa
itu kini belajar kembali. Menggendong bersama, bergantian menggantikan
popoknya, pura-pura merancang hari depan si bayi sambil tertawa-tawa berdua,
membuka kisah kisah lama mereka yang penuh kabut rahasia, dan menemukan betapa
sesungguhnya di antara keduanya Allah menitipkan perasaan saling membutuhkan yang
tak pernah terungkapkan dengan kata, atau sentuhan. Kini tawa mereka memenuhi rongga
dadaku yang sesak oleh bahagia, syukur pada-Mu Ya Allah! Engkaulah penolong
satu-satunya ketika semua jalan tampak buntu.
Engkaulah cahaya di
ujung keputusasaanku.
Tiga laki-laki dalam
hidupku aku titipkan mereka di tangan-Mu.
Kelak, jika aku boleh
bertemu dengannya, Nabiku, aku ingin sekali berkata:
Ya, Nabi. aku telah
mencoba sepenuh daya tenaga untuk mengajak mereka semua menirumu! Amin,
Alhamdulillah
SEBARKAN ke teman anda jika menurut anda catatan ini
bermanfaat
Label:
Kisah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
About Me
- infoku.blogspot.com
- ayo menjadi lebih cerdas
0 komentar: